Menyigi Danau Maninjau dan Cinta Sang Buya

  • Bagikan

Suasana nan permai Danau Maninjau melekat pada permulaan hidup ulama terpandang Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Pemikir dan sastrawan penentang diskriminasi yang tersohor dengan nama Buya Hamka ini acap kali melumat akan keindahan alam di tanah kelahirannya itu jadi inspirasi dan ilham sajak penuh makna.

Laporan AMCNews, Depitriadi – Maninjau

“Kota Melaka tinggallah sayang, Beta nak balik ke Pulau Perca. Walau terpisah engkau sekarang, Lambat laun kembali pula. Walau luas watan terbentang, Danau Maninjau terkenang jua.”

Demikian akhir syair menurut susunan lama yang berjiwa baru “Di Atas Runtuhan Melaka Lama” yang digubah Buya Hamka ketika mendatangi bekas kebesaran Melayu di Malaka di tahun 1939.

Di atas Benteng St. Paul kala itu, ia tengah termenung melihat laut. Seketika membawa pulang ingatannya ke tepian mandi kampung halaman di Sungaibatang, Maninjau. Mengaduk rindu yang rasanya ingin cepat ditunaikan.

Sang buya saat itu diceritakan sudah amat lama meninggalkan kampung kecilnya yang berpagar bukit mengembara mengukur tanah air yang luas untuk belajar, mengaji dan berdakwah. Mengenal adat istiadat, kebudayaan, kebiasaan, kesukaan dan pantang larang setiap suku bangsa.

Bukan hanya itu saja goresan pena yang menyuratkan cinta Sang Buya pada tanah lahir yang ditapaknya selama masa kanak-kanak. Dalam sebuah memoar berjudul Kenang-Kenangan Hidup yang ditulis Buya Hamka 72 tahun silam, dirinya juga mengutarakan rasa yang sama.

“Saya sangat terkesan pada desa kelahiran saya. Saya sudah sering keliling dunia, tapi rasanya tidak ada pemandangan yang seindah Maninjau.”

“Desa itu pun mempunyai arti penting bagi hidup saya. Begitu indahnya seakan-akan mengundang kita untuk melihat alam yang ada dibalik pemandangan itu…” tulis Hamka.

Masih dalam buku yang sama, Hamka menggambarkan dengan jelas indahnya Danau Maninjau yang selalu dirindui semasa kecil. Di rumah andung, perjalanan Malik sapaan Buya Hamka ketika kecil dimulai. Betapa dirinya suka duduk berlama-lama di atas kursi di hadapan tingkap sembari melihat danau.

Melihat pohon kelapa melambai-lambai di tepian danau, melihat biduk menyebrang atau pengail bersampan kecil. Melihat awan di tepi langit menyelubungi puncak-puncak bukit sekeliling danau. Jauh di seberang sana, sebelah barat, kelihatan perselisihan bukit Muka-Muka, itulah terusan Antokan, mengalirkan air ke danau.

Setiap hari mendengar murai berkicau atau elang berkulit. Kedengaran uir-uir bernyanyi menentang panas atau siamang berdendang di bukit Sibarasok. Sesekali ditenggelami kokokan ayam.

“Apa yang diingat pada waktu itu?
Aku tidak dapat menceritakan apa yang diingati oleh anak sebesar itu, selain dari keindahan alam yang melekat pada permulaan hidupnya ke dalam dasar jiwanya. Alam Indah, tapi ayah bunda tidak berada di rumah,” tulis Hamka.

Bahkan, dalam suatu kesempatan, keponakan beliau, Hanif Rasyid juga bercerita bahwa kemana pun pergi, Buya Hamka selalu bercerita tentang betapa indahnya Maninjau.

Pernah suatu ketika seorang Belanda bertanya, mengapa beliau selalu menceritakan keindahan Maninjau. Hamka menjawab, ketika Adam turun dari syurga, sejumput tanah dari kaki Adam terjatuh di Maninjau.

Benar atau tidaknya kisah ini, namun bila kita melihat peta danau Maninjau yang melekat di dinding musem rumah kelahirannya, memang terlihat menyerupai sebuah tapak kaki.

Penjaga Museum Kelahiran Buya Hamka, Dasri pun menuturkan, meski sejak usia belia Hamka sudah dibawa pergi merantau, namum Hamka menyimpan kenangan-kenangan masa kecil bersama Maninjau yang tidak bisa untuk dilupakannya.

“Sejak kecil buya memang sudah menyukai pekabaran-pekabaran, pantun dan cerita adat dari sang kakek. Tempat favoritnya mendengarkan kaba ialah di dangau di tepi danau,” ujarnya saat ditemui, Sabtu (26/6).

Semasa kecil Hamka termasuk anak-anak yang periang dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Bahkan, ia tak tahan untuk tidak membantu kakeknya menangkap atau mengail ikan di muara.

“Semasa itu, tidak berapa jauh dari rumah mengalir sungai yang sangat jernih, air turun dari bukit-bukit melewati sawah dan terus ke tepian danau. Di situlah dipasang jala, pasab, tambam, lukah dan jaring ikan. Di sanalah kakeknya mendirikan dangau,” ujar Dasri menceritakan kisah Hamka dalam Kenang-Kenangan Hidup.

Di dangau itu, Hamka kecil dan sang kakek suka bermalam. Digambarkan, dari dangau itu tampak kondisi Danau Maninjau yang selalu indah baik pagi maupun petang.

Pagi hari akan tampak matahari terbit dan puncak bukit sebelah timur. Siang hari danau tampak tenang, petang hari tampak cahaya matahari bergelut dalam danau.

Ketika hari sudah malam, saat itulah sang kakek mulai bercerita. Macam-macam cerita yang didengarnya, seperti Cindur Mato, Malin Demang, Tupai Janjang, dan lain sebagainya.

Danau Maninjau juga menjadi saksi bagaimana Hamka kecil diajarkan main pencak, randai, dan menari. Kadang-kadang ia diajarkan menyanyi dan berpantun.

“Maninjau padilah masak, Batang Kapas bertimbal jalan, hati risau dibawa gelak, bagai panas mengandung hujan,” tulis Hamka dalam sebuah pantun.

Kini sang buya telah pergi bersama setumpuk kisahnya cintanya di Maninjau. Namun ingatan sang tokoh nasionalis masih akan terus mengalir layaknya pasang air danau. Terus memberi warna dan harapan bagi kehidupan anak cucu. Sebuah warisan alam yang lestari diterimanya dari andung dan rang tua-tua terdahulu. (*)

(Bersambung)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *