Kiprah KWTH-AWR, Angkat Martabat Kulit Manis di Malalak Barat

  • Bagikan

Kelompok Wanita Tani Hutan-Aktivitas Wanita Rajin (KWTH-AWR) adalah sekumpulan kaum ibu yang berbagi asa kesejahteraan sektor agraris di bumi Kabupaten Agam. Kelompok ini lahir ketika petani menjerit akan susahnya akses pemasaran kulit manis dan rendahnya nilai jual. Bagaimana perjalanannya? Ikuti ulasan berikut.

Laporan AMC, Depitriadi – Malalak Barat

Kelompok Wanita Tani Hutan-Aktivitas Wanita Rajin (KWTH-AWR) merupakan perkumpulan resmi kaum hawa di Nagari Malalak Barat, Kecamatan Malalak. Keberadaan puluhan kaum ibu peduli ini dalam menggerakkan perekonomian keluarga dan masyarakat setempat patut diacungi jempol.

KWTH-AWR lahir pada Juli 2021 silam. Meski baru seumur jagung, kiprah kelompok ini mampu memberi spirit baru bagi petani di Malalak Barat dalam mengatasi kelumit pemasaran komoditi kulit manis yang menjadi andalan hasil perkebunan masyarakat di nagari itu.

Dimotori sebanyak 21 kaum ibu, KWTH-AWR mencoba mengangkat martabat kulit manis lewat inovasi olahan produk minuman berbahan baku tanaman rempah bernama latin Cassiavera itu. 

“Berhubung komoditi utama petani di sini adalah kulit manis, maka kelompok fokus pada pengembangan komoditi ini. Bagaimana kualitas tanaman meningkat, biaya produksi tidak tinggi, serta bagaimana petani bisa mencari alternatif lain, selain menjual kulit manis dalam bentuk bahan mentah,” kata Penggagas sekaligus Pembina KWTH-AWR, Fadli Rahmadi, S.Hut saat berbincang dengan AMC, Rabu (9/2).

Fadli menjelaskan, kemunculan KWTH-AWR beranjak dari potensi pertanian di Malalak Barat yang belum tergarap maksimal.

Padahal menurutnya, nagari ini menyimpan potensi pertanian yang menjanjikan. Diberkahi tanah yang subur dan hutan yang luas.

Terlebih metode yang diterapkan petani dalam mengolah lahan masih memakai gaya tradisional secara parsial. Sehingga hasil pertanian dan perkebunan yang diperoleh jadi monoton atau tak jauh-jauh dari penghasilan sebelumnya.

Meski sebelumnya kerap rugi dengan harga jual acap merosot, namun gaya tradisional itu tetap dipertahankan para petani lokal. Tak ada perubahan. Sehingga memantik pihaknya untuk merubah. Memperbaiki cara bertani dengan harapan memperbaiki penghasilan mereka.

KWTH-AWR ulasnya, menjadi wadah bagi wanita tani untuk berproses. Mulai dari pengayaan dan peningkatan kapasitas bercocok tanam, memproduksi pupuk sendiri, sampai kepada manajemen usaha kelompok. Tidak hanya untuk pertanian kelompok, akan tetapi pengetahuan yang didapat nantinya juga dapat diaplikasikan pada areal pertanian individu.

“Banyak hal yang melatarbelakangi lahirnya kelompok wanita tani hutan ini. Berangkat dari kondisi petani yang belum mampu menguasai harga pasar. Sehingga dengan dibentuknya kelompok, para petani diharapkan mampu menguasai pertanian mulai dari hulu hingga hilir, disitulah baru petani bisa menemui kesejahteraan,” ujar orang sumando Malalak Barat itu.

Melihat kondisi yang demikian, Alumnus Fakultas Kehutanan UMSB itu berinisiatif memaksimalkan potensi tersebut. Menurutnya, pemanfaatan dan pengembangan potensi pertanian akan lebih efektif jika dilakukan dengan cara pemberdayaan kelompok.

Berbekal pengetahuan sewaktu kuliah dan pengalaman di lembaga swadaya masyarakat, Fadli mencoba mencari formula olahan kulit manis yang dapat dikembangkan masyarakat. Alhasil, setelah melewati beberapa percobaan dan uji pendapat konsumen, akhirnya ditemukan formula sirup berbahan kulit manis.

“Formula ini saya tawarkan ke ibu-ibuk petani setempat sebagai produk usaha kelompok. Setelah dicoba, mereka bersemangat untuk memproduksinya dalam jumlah banyak. Dan ini juga sejalan dengan program pemerintah Kabupaten Agam, satu nagari satu produk UMKM,” tutur Sekretaris KNPI Agam itu.

Kini ulasnya, sirup itu menjadi salah satu usaha kelompok dengan merek Sirup Kulit Manis Malbar Cassiavera. Pada tahap awal, KWTH-AWR memproduksi 30 botol sirup dengan modal swadaya, lalu meningkat menjadi 50 botol dan kini bisa memproduksi 120 botol sirup dalam satu minggu.

Sirup kulit manis yang memiliki banyak manfaat bagi kesehatan itu dipatok harga Rp15 ribu per botol untuk jenis Extragula dan Rp 20 ribu untuk jenis Original/nongula yang dikemas dalam botol 250 ml. Saat ini pemasarannya masih dari mulut ke mulut. Hasil penjualan nantinya akan dibagikan ke anggota kelompok dalam rentang satu tahun sekali.

“Hasil penjualan, 90 persen hak anggota kelompok, 5 persen untuk Surau Lambah dan 5 persen lagi untuk anak yatim. Artinya usaha ini juga ladang amal, baik bagi petani maupun pembeli,” ungkap Owner Sirup Kulit Manis MALBAR Cassiavera ini.

Saat ini, KWTH-AWR masih terus mencari varian rasa sirup yang baru. Fadli dan kelompok tengah mencoba racikan sirup kulit manis dengan rasa gula aren dan madu. Untuk pengembangan, KWTH-AWR tengah mengurus izin produksi. Selain itu, sekumpulan kaum ibu tersebut juga mengharapkan sokongan alat produksi.

“Saat ini cara produksi masih tradisional dengan tetap memperhatikan SOP kesehatan yang ketat. Kami berharap kedepan akan ada alat produksi yang memadai, sehingga kualitas dan kuantitas produk bisa terus ditingkatkan,” katanya.

Selain memperkaya nilai ekonomis dari kulit manis, KWTH-AWR juga menanam dan merawat komoditi yang diolah dengan cara organik di areal pertanian kelompoknya. Komoditi itu berupa sayur mayur seperti terung, cabai rawit dan bawang pray.

Hingga kini KWTH-AWR tetap eksis memproduksi sirup berbahan kulit manis dan membudidayakan aneka sayur mayur sebagai sumber penghasilan masyarakat di Malalak Barat.

Ia berharap, kelompok tani yang dibinanya itu terus mampu jadi sandaran asa kesejahteraan bagi keluarga tani setempat. Fadli juga berambisi akan muncul kelompok- kelompok tani dengan usaha lainnya di daerah itu. 

Sehingga lambat laun, menjadi petani bisa jadi kebanggaan. Bentangan alam yang dianugerahkan Tuhan bisa menjadi tumpuan rezeki bagi masyarakat, khususnya di Malalak Barat.

Terpisah, Kepala Dinas Perindustiran, Perdangangan, Koperasi dan UMKM Kabupaten Agam, Dedi Asmar menyebut usaha sirup cassiavera yang dirintis KWTH-AWR memiliki prospek sangat cerah. Pasalnya, di kawasan tersebut tersedia bahan baku yang berlimpah, serta belum ada produk serupa di Kabupaten Agam.

Menurutnya Sirup Malbar berpeluang menjadi ikon one village one product. Untuk itu, pihaknya menyarankan KWTH-AWR untuk segera mempersiapkan segala perizinan, mulai dari P-IRT, izin edar Balai POM, sampai sertifikat label halal.

“Disperindagkop UKM serta forum UMKM di nagari, kecamatan, hingga kabupaten akan turut melakukan pembinanaan, seperti pembenahan brand hingga solusi pemasarannya nanti,” ujarnya.

Jika brand terkelola dengan baik sambungnya, ketika orang mengingat Malalak orang akan teringat sirup cassiaverra. Sehingga produk ini bisa menjadi cikal-bakal oleh- oleh spesifik di Kabupaten Agam, sama halnya olahan rinuak Danau Maninjau.

“Disperindagkop UKM mendampingi pelaku UMKM untuk mem-branding produk. Selain itu yang terpenting adalah pembinaan dan peningkatan SDM pelaku UMKM,” katanya.

Ditambahkan, pihaknya mengapresiasi KWTH-AWR yang terus berinovasi menciptakan produk-produk unggulan yang berdaya saing.

Dia berharap dengan pendampingan yang intens, kedepan KWTH-AWR dapat menjadi kelompok usaha yang tangguh dan mandiri di Kabupaten Agam. (*)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *