Tanjung Raya, AMC – Usianya memang sudah tidak muda lagi. Namun, lantang suaranya dalam membawakan bidaran-bidaran Minang masih tidak berubah. Hingga usianya yang ke 82 tahun, Budayawan Minang ini terus menciptakan karya-karya bertajuk salingka adat Minangkabau.
Yusbir atau yang lebih familiar dengan nama Angku Yus Dt. Parpatiah lahir di Sungai Batang pada 7 April 1939. Gelar Dt. Parpatiah yang disematkan di belakang namanya itu sudah disandangnya sejak 1967 silam, sebagai penghulu payung suku Chaniago.
Kini, Angku Yus tidak lagi bergelar Dt. Parpatih. Beliau menyandang gelar Bandaro Bodi, musabab jabatan penghulunya sebagai pimpinan pucuk suku Chaniago di Sungai Batang, sudah dilewakan kepada kemenakannya.
Masa kecil Angku Yus banyak dihabiskan di kampung halaman sampai ia menamatkan SD dan SMP, masing-masing pada 1955 dan 1958.
Setamat SMP, Angku Yus diajak sang kakak yang merantau ke Sumatra Utara. Bahkan Angku Yus menamatkan sekolah di SMA Tanjung Balai Asahan pada 1961.
Pada 1967, Angku Yus menikah dan kemudian diangkat menjadi pangulu pemimpin suku Chaniago dengan gelar Datuak Parpatiah pada 1970.
Setelah menikah, layaknya banyak orang Minang yang merantau, Yus muda memulai berwiraswasta dengan cara berdagang.
Tidak hanya di Sumatra Utara, Yus muda juga melanglang buana hingga Jambi, Sumatra Selatan, Lampung, dan akhirnya hijrah ke Jakarta pada 1976.
Pada 1980, Angku Yus Dt. Parpatiah mulai mantap merintis dunia rekaman. Pada tahun itu, Balerong Grup yang ia pimpin melahirkan karya perdana, yang bertajuk drama berjudul Di Simpang Duo.
Setahun setelah itu, grup yang bermula dari karyawan-karyawan usaha konveksinya itu menelurkan karya drama kedua yang berjudul Meniti Buih. Karya keduanya ini laris manis di masa itu.
Tidak puas dengan karya drama, Angku Yus Dt. Parpatiah juga mencoba genre baru, yakni komedi. Komedi Rapek Mancik yang mengangkat budaya demokrasi di Ranah Minang sekaligus menyindir perilaku sebagian orang yang tak komit dengan kesepakatan, juga laris di pasaran.
Pada era 2000an, suami Ermaini dan ayah dari tiga anak bernamai Elivia, Ervan, dan Ellen itu lebih banyak merekam monolog. Ia berpidato tentang berbagai masalah dan memberikan solusinya lewat ketentuan adat.
Paling terkenal adalah beberapa bidaran Minang yang diperuntukan bagi anak kemanakan minang dalam mengarungi hidup, nasihat jelang perkawinan, nasihat untuk para calon pangulu, dan bahkan juga mengkritik tentang minimnya kepemimpinan yang berkarakter adat di Ranah Minang.
Pidato yang disampaikan dengan pepatah dan petitih Minang itu menarik sekaligus renyah. Bahkan kini telah banyak tersebar di berbagai akun media sosial seperti Youtube dan Facebook.
Kini, guru adatnya orang Minang itu banyak menghabiskan masa senjanya di kampung halaman, tepatnya di Jorong Nagari, Kenagarian Sungai Batang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat.
Di rumahnya yang terletak di tepian Danau Maninjau itu masih banyak disambangi masyarakat Minangkabau baik di ranah maupun dari rantau, untuk sekadar berdiskusi, belajar dan menggali ilmu adat istiadat yang berlandaskan Adat Basandi Syarak, Syarak Basansi Kitabullah.
Bahkan, diusianya yang kini, Angku Yus kerap roadshow keliling Sumatera Barat bahkan ke luar daerah, guna memberi penyuluhan dan diskusi adat.
Kini, beliau fokus melahirkan karya tulis, dan berhasil menulis buku berjudul “Menyikap Wajah Minangkabau,” sebagai karya tulis pertamanya.
Angku Yus berencana akan melanjutkan tulisan keduanya tentang “Sejarah Nagari Sungai Batang” dan “Metoda Pendidikan Lembaga Adat Surau sebagai Pencetak Manusia Minangkabau Siap Pakai”. (Pit/Rud)