Kamang Magek, AMC – Perang Kamang adalah perlawanan masyarakat Sumatera Barat terhadap Pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1908, tepatnya 113 tahun lalu, berpusat di daerah Kamang, Kabupaten Agam
Seperti dijelaskan Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Kamang Magek, Abdi Murtani Dt. Maruhun Basa, saat menyampaikan sejarah singkat Perang Kamang, pada Upacara Peringatan Perang Kamang, di Aula Kantor Camat Kamang Magek, Selasa (15/6).
Dikatakan, Tanah Emas adalah istilah kaum kolonial dan imperialis terhadap tanah jajahan yang dikuras kekayaannya dengan cara tidak jujur, kejam, dan tidak berprikemanusiaan.
Diceritakan, setelah berhasil menguasai Sumatera Barat tahun 1837, Gubernur Michael melaksanakan sistem tanam paksa kopi, agar pedagang kopi bisa dikuasainya. Namun pada tanggal 1 Maret 1908, Belanda mengganti sistem tanam paksa dengan belasting (pajak).
Sejak saat itu, masyarakat Minangkabau khususnya di daerah Kamang, menentang pembayaran pajak tersebut, sehingga masyarakat secara diam-diam melengkapi diri dengan senjata tajam dan keterampilan bela diri.
“Senjata yang dikumpulkan seperti, ruduh, kalewang, pedang, pisau, tombak, dan lain sebagainya,” jelasnya.
Dilanjutkan, pada tanggal 2 Juni 1908, diadakan rapat di Masjid Taluak, yang dihadiri oleh utusan Agam Tuo, Lubuk Basung, Manggopoh, Padang Panjang, Batu Sangkar, dan lainnya, sehingga menghasilkan kebulatan tekat untuk menentang Belanda.
Pada kesempatan itu juga, terbentuk beberapa kelompok yang dipimpin oleh H. Abdul Manan, M. Saleh Dt. Rajo Pangulu, M Yusuf Dt. Parpatiah Nan Sabatang, dan H. Jabang.
Tugasnya untuk menghidupkan dan menggerakkan semangat juang serta mempersiapkan senjata untuk pasukannya masing-masing.
Pada tanggal 14 Juni 1908, ketika pasukan Belanda bergerak ke Kamang, melalui tiga rute, yaitu Gadut, Tanjung Alam dan Biaro, dan berkumpul di Kampung Tangah, Kamang Mudiak.
Disepanjang perjalanan itu, terjadi perlawanan dari rakyat yang begitu hebat, dimana pasukan Belanda yang datang dari Tanjung Alam, dihadang oleh pasukan yang dipimpin oleh M Yusuf, Dt Parpatiah Nan Sabatang, dan disini beliau gugur sebagai syuhada’.
Sedangkan pasukan Belanda yang datang dari Gadut, dihadang oleh pasukan H. Jabang.
Sampai di Kampung Tangah, pasukan Belanda langsung mengepung rumah H. Abdul Manan.
Namun pada kesempatan itu, H. Abdul Manan dan M Saleh Dt. Rajo Pangulu, menyerang pasukan Belanda dari 2 arah, yaitu dari arah Timur oleh pasukan yang dipimpin oleh M. Saleh Dt. Rajo Pangulu, sedangkan dari arah Barat oleh pasukan yang dipimpin H. Abdul Manan.
“Dalam pertempuran ini, H. Abdul Manan, dan M Saleh, Dt. Rajo Pangulu, beserta istri beliau Siti Asyiah, gugur sebagai syuhada’,” jelasnya.
Abdi Murtani Dt. Maruhun Basa menjelaskan, perlawanan rakyat di Kamang pada tahun 1908, bukanlah peristiwa yang terjadi dengan tiba-tiba, tapi merupakan bentuk ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan Belanda.
“Diharapkan kepada pemuda dan generasi penerus, agar dapat mewariskan dan menanamkannya di dalam dirinya, untuk dapat meningkatkan semangat juang dan jiwa patriotnya, seperti para pejuang yang telah berkorban demi kemerdekaan,” harapnya. (HR)