Syeikh Ahmad Chatib (1860-1916): Imam dan Khatib Masjidil Haram, Pelopor Pembaharuan Islam di Nusantara

  • Bagikan

Oleh : Efri Yoni Baikoeni, MA *

Kebangkitan Islam di Minangkabau pertama kali muncul tahun 1784-1803 di Ampek Angkek khususnya Koto Tuo yang dipelopori oleh Tuanku Nan Tuo, seorang guru tarekat aliran Syattariyah.

Kebangkitan ini dipicu oleh kondisi ekonomi daerah yang cukup baik dengan berkembangnya perdagangan ekspor seperti tanaman akasia yang tumbuh subur di sekitar pegunungan tersebut. Dengan membaiknya perekonomian, membuka peluang bagi masyarakat menunaikan ibadah haji sambil menimba ilmu agama ke Makkah. Kehadiran ulama kharismatik yang pernah bermukim di Makkah tersebut menarik ramai orang untuk menimba ilmu sehingga surau yang mengajarkan ilmu tarekat tersebut berkembang sebagai pusat penyebaran Islam.[1]

Kebangkitan Islam ini kemudian semakin menonjol dengan munculnya gerakan Paderi tahun 1803-1819. Gerakan pembaharuan Islam ini diawali dengan kepulangan tiga orang haji dari Tanah Suci tahun 1803 bernama Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang. Selama di Makkah, ketiganya menyaksikan arus pembaharuan Islam yang dikenal dengan gerakan Wahabi.

Didasarkan masih bercampuraduknya ajaran Islam dengan praktek dan kebiasaan “jahiliyah” seperti menyabung ayam, minum-minuman keras, menghisap ganja dan lain-lain, gerakan Paderi melancarkan aksinya secara ekstrem meniru gerakan Wahabi di Makkah demi menciptakan masyarakat Islam yang dicita-citakan.

Gerakan pembaharuan ini mendapat dukungan dari ulama-ulama radikal seperti Tuanku Nan Renceh dari Kamang dan kawan-kawannya yang tergabung dalam “Harimau Nan Salapan”. Sesuai namanya, gerakan pembaharuan ini menghalalkan kekerasan demi terwujudnya masyarakat Islam yang diinginkan. Gerakan Paderi ini mendorong masuknya Belanda ke Minangkabau, karena golongan adat yang terdesak dengan gerakan Paderi menandatangani perjanjian dengan Belanda tahun 1821. Dengan munculnya pihak ketiga, gerakan pemurnian agama ini kemudian berkobar menjadi perang Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol yang bertujuan mengusir Belanda dari bumi Minangkabau.

Berbeda dengan gerakan pembaharuan Islam besutan kaum Paderi, pada awal abad ke-20, Minangkabau kembali diwarnai dengan gerakan kebangkitan Islam berikutnya. Kali ini dipicu oleh tokoh pembaharu dari Mesir seperti Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh dan Rasjid Ridha. Gerakan yang lebih dikenal dengan ide “Pan Islamisme” ini mengusung pemikiran Islam yang lebih modernis seperti: membuka pintu ijtihad, menghindarkan ummat Islam dari kejumudan, bid’ah, khurafat dan tahyul.

Kembalinya gerakan kebangkitan Islam ke Ranah Minang dibawa oleh para ulama yang baru pulang dari Makkah. Benih-benih pembaharuan Islam itu disemai oleh seorang ulama besar bernama Syeikh Ahmad Chatib Al Minangkabawi, seorang imam dan khatib di Masjidil Haram yang berasal dari Koto Tuo, Ampek Angkek.

Tidak hanya di Minangkabau, ide pembaharuan yang didegungkan Syeikh Ahmad Chatib juga menggema ke seantero Nusantara. Di Malaysia, gerakan pembaharuan itu dimotori Syeikh Thaher Djalaluddin Al Azhari, yang pernah diangkat sebagai mufti Kerajaan Perak. Dia merupakan murid sekaligus sepupu Ahmad Chatib.

Di Jawa, gerakan pembaharuan Islam diwujudkan dalam gerakan Muhammadiyah yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan tahun 1912. Ahmad Dahlan yang kala itu bernama Muhammad Darwis pernah berguru kepada Syeikh Ahmad Chatib ketika bermukim di Makkah tahun 1903 sampai 1905.[2] Selama menimba ilmu agama dengan sang imam, Muhammad Darwis makin intens membaca berbagai literatur. Pemikiran dari tokoh pembaharu itu yang kemudian menginspirasinya melakukan pembaharuan Islam di Indonesia (Marihandono, 2017-24).[3]

Di Minangkabau, gerakan pembaharuan Islam dimotori oleh para murid Syeikh Ahmad Chatib seperti: Abdul Karim Amrullah (ayah HAMKA), Muhammad Djamil Djambek, Ibrahim Musa, Abdullah Ahmad, Abdul Latif Syakur dan lain-lain. Sejak kembalinya para murid Syeikh Ahmad Chatib dari Tanah Suci, angin kebangkitan Islam di Minangkabau bertiup sangat kencang. Kelompok yang dikenal dengan gerakan “Kaum Muda” tersebut mendobrak kejumudan pemikiran Islam yang dialami oleh kaum tradisional.[4]

Selain dikenal sebagai tokoh pembaharu di dunia Islam, Syeikh Ahmad Chatib juga mendapat tempat terhormat di kalangan ulama-ulama di Tanah Suci. Penguasa Makkah mengangkatnya sebagai imam dan khatib di Masjidil Haram. Tentu saja jabatan terhormat ini menjadi kebanggaan tidak saja bagi orang Minangkabau, melainkan juga Indonesia. Tidak banyak orang Indonesia bahkan Melayu yang mendapat kepercayaan sebagai guru di Masjidil Haram. Diantara yang sedikit itu adalah Syeikh Junaid Al Batawi, Imam Nawawi Al Bantani, dan Syeikh Ahmad Chatib Al Minangkabawi.

Syeikh Ahmad Chatib Al Minangkabawi meninggal dunia tanggal 13 Maret 1916 di Makkah dan dimakamkan di sana. Hingga wafatnya dalam usia 56 tahun, dia masih menjabat sebagai guru di Masjidil Haram.

Asal Usul Keluarga

Ahmad Chatib dilahirkan di Koto Tuo, Ampek Angkek tanggal 6 Mei 1860.[5] Ayahnya bernama Abdullatif gelar Khatib Nagari yang berasal dari Koto Gadang. Abdullatif ini merupakan saudara dari Datuk Rangkayo Mangkuto yang menjabat sebagai Tuanku Lareh di Koto Gadang.[6]

Ibunya bernama Limbak Urai yang berasal dari Koto Tuo, Ampek Angkek. Limbak Urai bersaudara tiga orang dengan susunan: 1) Gandam Urai – kemudian menjadi ibu dari Syeikh Taher Jalaluddin, 2) Muhammad Saleh Datuk Bagindo – pernah menjadi Tuanku Lareh Ampek Angkek, 3) Limbak Urai – kemudian menjadi ibu dari Ahmad Chatib, dan 4) Haji Ibrahim.[7]

Ayah Limbak Urai adalah Tuanku Nan Rancak, seorang ulama terkemuka pada zaman Paderi. Ibu Limbak Urai bernama Siti Zainab, puteri dari Tuanku Bagindo Khatib, Pembantu Regent (setingkat Bupati) Agam. Dengan demikian, Ahmad Chatib lahir dari keluarga yang mempunyai latar belakang agama dan adat yang sangat kuat.

Dari segi ekonomi, Ahmad Chatib adalah keturunan orang kaya. Ayah dan pamannya Datuk Rangkayo Mangkuto terkenal sebagai orang kaya dan bangsawan di Koto Gadang. Sebagai keluarga bangsawan dengan latar pendidikan agama yang kuat pula, keluarga ayah Ahmad Chatib tidak menutup diri terhadap pendidikan umum yang saat itu dikelola oleh pemerintah kolonial Belanda.

Menuntut Ilmu ke Makkah

Setelah menimba ilmu di Sekolah Guru “Kweekschool” di Bukittinggi, dalam usia 11 tahun, Ahmad Chatib dibawa oleh paman dari pihak ayah bernama Abdul Ghani yang berasal dari Koto Gadang. Keduanya meninggalkan tanah air tahun 1871 dengan menggunakan kapal laut dengan rute: Bukittinggi-Betawi-Singapura-Aden-Suez-Makkah.

Setelah menempuh perjalanan selama 5 bulan, mereka sampai di Makkah. Di kota suci itu, Ahmad Chatib berguru kepada Said Umar Syatha. Setelah berguru sekitar 4 tahun, Ahmad Chatib kembali ke tanah air tahun 1876.

Tidak beberapa lama kemudian, pada saat Said Umar Syatha mengunjungi Indonesia tahun 1878, Ahmad Chatib kembali diajak ke Makkah untuk menuntut ilmu. Sang guru melihat pada diri Ahmad Chatib tersimpan semangat yang kuat dalam ilmu pengetahuan.

Pendidikan di Makkah

Di Makkah, Ahmad Chatib tidak hanya menunaikan ibadah haji, namun juga mempelajari ilmu agama secara mendalam. Sebagai alat dia mempelajari bahasa Arab dengan segala unsurnya, seperti ilmu nahwu dan saraf, mata pelajaran dasar dalam bahasa Arab. Di samping itu, dia mempelajari pula ilmu-ilmu umum seperti ilmu falak, ilmu hisab, dan aljabar.

Masa belajarnya berlangsung dari tahun 1871 hingga 1876 yaitu saat bermukim di Makkah pertama kali. Ini masa belajar penuh tanpa gangguan. Diantara guru-gurunya di Makkah adalah: Sayyid Zayn Al-Dakhlan, Syeikh Bakr al-Syatta, dan Syeikh Yahya al-Qabli. Di kalangan guru-gurunya, Ahmad Chatib dikenal sebagai murid yang cerdas dan dikagumi oleh guru-gurunya.

Kekaguman terhadap kepribadian Ahmad Chatib juga muncul di kalangan pengusaha. Sebut diantaranya Syeikh Shalih Al Qurdi. Toko bukunya di Bab al Salam sering dikunjungi Ahmad Chatib untuk mencari dan membeli buku-buku yang diperlukan. Kemudian pengusaha yang dekat dengan penguasa kota Makkah itupun mendapat informasi yang baik pula dari gurunya Sayyid Zayn Al-Dakhlan.

Rasa kagum itu kemudian menimbulkan keinginan untuk menikahkan Ahmad Chatib dengan anaknya bernama Khadijah. Bahkan diapun menyediakan semua keperluan bagi mewujudkan rencana tersebut seperti biaya perkawinan dan mahar.

Tawaran Syeikh Shalih Al Qurdi itu tidak ditampik Ahmad Chatib, sehingga pernikahan itu terwujud tahun 1879. Sejak itu pula, Ahmad Chatib mulai mengajar di rumahnya. Mula-mula, muridnya berasal dari kalangan terbatas seperti famili. Termasuk diantara murid-murid yang belajar kepadanya ketika masih di rumah adalah Taher Djalaluddin-saudara sepupunya.

Ahmad Chatib dikenal sebagai sosok pemberani dan memiliki spontanitas yang cukup tinggi demi menegakkan kebenaran. Sifat ini sudah terlihat sejak masa mudanya.

Seperti diceritakan Hamka dalam “Ayahku” bahwa Ahmad Chatib pernah menghadiri jamuan berbuka puasa bersama mertuanya di Istana Syarif. Pada waktu shalat Maghrib, Syarif Makkah menjadi imam. Ketika mendengar bacaan imam yang salah, Ahmad Chatib langsung membetulkannya. Spontanitas yang berani ini menyebabkan Ahmad Chatib mendapat pujian dari sang syarif. Bukan itu saja, diapun mendapat penghormatan dari penguasa kota suci tersebut.

Empat tahun perkawinannya berselang, isteri Ahmad Chatib meninggal dunia tahun 1883. Dia kemudian dinikahkan kembali oleh Syeikh Shalih Al Qurdi dengan anaknya yang lain bernama Fatimah, adik dari Khadijah. Dalam budaya Minangkabau, pernikahan seperti ini dinamai dengan “baganti lapiak”.

Sebagai Imam dan Khatib di Masjidil Haram

Sejak pernikahannya dengan Fatimah, sang mertua membuka jalan bagi Ahmad Chatib untuk mengajar di Masjidil Haram. Atas bantuan dari mertuanya yang kenal baik dengan penguasa Syarif Makkah bernama Syarif Awn al Rafiq, Ahmad Chatib diijinkan mengajar di Masjidil Haram.

Pada saat menerima kepercayaan sebagai guru di Masjidil Haram tahun 1298 H tersebut, Ahmad Chatib masih berusia 38 tahun. Dari sini karirnya sebagai ulama dan guru langsung melejit, sehingga menjadi kebanggaan masyarakat Minangkabau yang mengenalnya.

Tidak hanya menjadi kebanggaan bagi daerah asalnya, Ahmad Chatib juga menjadi kebanggaan Indonesia, apalagi pada saat itu, orang Arab masih memandang rendah kepada orang Indonesia. Salah satu pameo terkenal di kalangan orang Arab kepada orang Indonesia seperti ungkapan “Jawi ya’kul hanas”, yang artinya orang Malayu makan ular.

Meski sudah mencapai puncak karir yang gemilang di Tanah Suci, kecintaan dan nasionalisme seorang Ahmad Chatib tidak pernah padam. Hal itu ditunjukkan dengan kiprah dan sumbangsihnya untuk Indonesia dengan memperhatikan masalah-masalah yang timbul dan menyumbangkan pemikirannya-pemikirannya untuk kemajuan dan kemashlahatan bangsa. Dia masih mengharapkan perbaikan-perbaikan untuk bangsanya. Apalagi dengan adanya rasa kebencian yang sangat mendalam kepada Belanda sebagai penjajah, Snouck Hurgronje menyebutnya sebagai orang yang fanatik, yang oleh Dr. P.S. van Koningsweld dijelaskan dengan fanatik anti-Belanda.

Salah satu perhatian kepada tanah kelahirannya, Ahmad Chatib mengkritisi praktek budaya Minangkabau yang matriakhat. Dia menentang pembagian harta pusaka tinggi di Minangkabau kepada pihak perempuan. Untuk itu, dia menulis dua buku. Pertama berjudul “Al Da’i Al Masmu’ fi ‘il-radd ‘ala Yuwarritsu’: ikhwahwa awlad al-akhawat ma’a wujud al-ushul wa’l-furu” yang artinya “Seruan yang Didengar dalam Menolak Pewarisan Kepada Saudara dan Anak-anak Saudara Perempuan Beserta Dasar dan Perincian” ditulis dalam bahasa Arab dan dicetak di Mesir tahun 1311 H. Kedua berjudul “Al Manhaj al Masyru’” yang artinya “Cara-Cara Yang Disyariatkan” ditulis dalam Bahasa Melayu dan dicetak di Mesir tahun 1311 H. Selain sikap kritisnya kepada adat Minangkabau, sosok Ahmad Chatib juga merupakan orang yang anti kepada Belanda. Hal itu pernah dikemukakan oleh Haji Agus Salim – pernah berguru kepada Ahmad Chatib saat menjadi penerjemah di Konsulat Belanda di Jeddah – saat memberikan kuliah di Cornell University, AS tahun 1953. The Grand Old Man itu mengatakan bahwa Ahmad Chatib adalah seorang yang sangat anti-Belanda. Karena itu, dia tidak mempunyai hubungan yang baik dengan Snouck Hurgronje ketika ilmuwan Belanda itu berada di Makkah tahun 1885.

(*) Penulis adalah Tenaga Ahli Bupati Agam Bidang Pendidikan


[1] Dobbin, Christine. 1983. Islamic Revivalism in Changing Peasant Economy, Central Sumatra 1784-1847. London: Curzon Press.

[2] Sebelum menunaikan ibadah haji, KH Ahmad Dahlan menyandang nama Muhammad Darwis.

[3] Djoko Marihandono (ed.).2017. KH Ahmad Dahlan (1868-1923). Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional.

[4] Tamar Djaya. 1966. Pusaka Indonesia: Riwayat Hidup Orang-Orang Besar Tanah Air. Jakarta: Bulan Bintang.

[5] Al Minangkabawi, Syeikh Ahmad Khatib. 2016. Dari Minangkabau untuk Dunia Islam: Otobiografi Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi 1860-1916. Yogyakarta: Gre-Publishing.Penerjemah: Z. Malin Mudo, Muhammad Husni, Afdhil Fadli.

[6] Akhria Nazwar, Drs. 1983. Syekh Ahmad Khatib: Ilmuwan Islam di Permulaan Abad Ini”. Jakarta: Pustaka Panjimas.

[7] Akhria Nazwar, Drs. 1983. Syekh Ahmad Khatib: Ilmuwan Islam di Permulaan Abad Ini”. Jakarta: Pustaka Panjimas.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *