Laporan Jonata Ramadan, AMCNews – Lawang
Bundar bentuknya, coklat warnanya, dan manis rasanya. Saka Lawang, begitu nama makanan tersebut, asli produksi dari Nagari Lawang, Kecamatan Matur, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat.
Nagari Lawang selain diingat melalui berbagai objek wisatanya, juga terkenal sebagai sentra produsen tebu. Saccharum officinarum, begitu nama latin tanaman yang tumbuh subur di daerah Lawang tersebut. Topografi dan keadaan alamnya memang cocok untuk pengembangan tanaman tebu.
Selain digiling menjadi menjadi minuman air tebu murni, tebu juga diolah menjadi gula merah yang jamak disebut “saka” oleh penduduk setempat. Nama daerah penghasilnyapun dilekatkan pada makanan ini, jadilah namanya “saka lawang”. Produksi saka lawang cukup membantu warga meningkatkan pendapatan, disamping menjadi industri rumahan masyarakat sekitar.
Oleh masyarakat, saka lawang ini dipasarkan ke pasar-pasar tradisional di daerah itu, seperti Pasar Lawang Tigo Balai, Pasar Matur. Bahkan saat ini, saka lawang sudah banyak ditemui di pasar-pasar daerah lainnya baik itu di Agam maupun di Sumatera Barat.
Uniknya, meskipun sebahagian masyarakat sudah beralih menggunakan tenaga mesin namun cara tradisional tetap dipertahankan dalam menolah tebu menjadi saka lawang, yaitu menggunakan tenaga kerbau. Ya, kerbau yang biasanya sering ditemui menarik bajak di sawah, di Lawang dipergunakan untuk memutar alat penggiling tebu. Sampai sekarang, cara pengolahan seperti ini masih dilestarikan oleh warga setempat. Bebas polusi sekaligus menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.
Salah seorang pemilik penggilingan tebu tradisional di Jorong Gajah Mati, Nagari Lawang, Deswarina, menyampaikan proses penggilingan tebu menggunakan tenaga kerbau sudah menjadi tradisi turun temurun. Untuk proses penggilingan tebu caranya dengan mengikatkan sebatang kayu ke pundak kerbau dan kayu itu terhubung ke alat penggilingan. Kerbau berjalan melingkar memutar alat ini. Kedua mata kerbau ditutup dengan kacamata khusus yang dibuat dari tempurung kelapa lalu diikatkan dengan menggunakan kain.
“Cara ini agar kerbau tidak merasa pusing saat mengelilingi putaran penggilingan,” katanya lagi.
Air perasan yang dihasilkan ditampung dengan mengunakan sebuah wadah, biasanya butuh waktu tiga jam. Selanjutnya dimasak hingga mengental. Proses memasak ini membutuhkan waktu dua jam. Air tebu yang mengental kemudian dimasukkan dalam cetakan kayu dan didiamkan hingga mengeras menjadi saka.
Meskipun proses pembuatan memakan waktu lebih lama dibandingkan jika menggunakan mesin, namun saka yang dihasilkan lebih enak dan harum. Selain itu, wisatawan sering mengunjungi tempat produksi saka milik Deswarina karena dianggap unik dan menarik.
“Penggilingan tebu secara tradisional ini telah menjadi salah satu daya tarik wisatawan domestik dan mancanegara,” kata Kepala Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Agam, Syatria, Minggu (27/9)
Untuk hasilnya sendiri, kata Deswarina, dalam sehari bisa memproduksi sebanyak 25 kilo sampai 27 kilo gram gula saka dari hasil perasan tebu, 2 kilo gram gula saka dijual seharga Rp35.000 ribu rupiah.
Walaupun terkesan jadul, namun keunikan dan semangat mempertahankan tradisi inilah yang membuat Agam memiliki pesona yang beragam.
#ayokeAgam
Respon (1)