Laporan Depitriadi, AMCNews – Lubuk Basung
Di Lubuk Basung, ada pemukiman warga yang sejak turun-temurun dikenal sebagai sentra penghasil kulit ketupat. Dalam sehari, warga di pemukiman ini mampu menghasilkan 3000 kulit ketupat. Bahkan, kulit ketupat rajutan kaum ibu itu sudah merambah pasar di luar Kabupaten Agam.
Rabu (7/10) sore, cuaca mendung menemani perjalanan AMCnews ke pemukiman warga di Batu Gadang Balai Salasa, Nagari Kampung Pinang, Kecamatan Lubuk Basung. Di salah satu rumah, empat ibu-ibu tampak sibuk merajut kulit ketupat. Di salah satu sisi ruangan, tampak ratusan kulit ketupat tersusun rapi.
Sore itu, Murniati (50) tengah mengerjakan pesanan kulit ketupat ditemani kerabatnya. 3500 kulit ketupat harus disiapkannya untuk memenuhi pesanan dari salah seorang pedagang di Kabupaten Solok.
“Seminggu sekali, orang dari Solok mengambil kulit ketupat di sini, minggu lalu 4000 kulit ketupat, sekarang 3500,” ujarnya kepada AMCNews.
Dikatakan, kulit ketupat buatannya dipatok harga Rp8 ribu untuk seratus kulit ketupat. Dirinya mengaku harga tersebut terbilang murah jika dibandingkan di tempat lain.
Dalam sehari Murniati mampu membuat kurang lebih 2000 kulit ketupat, dengan menghabiskan 8 karung daun kelapa. Dirinya menyebut, daun kelapa tersebut dibeli Rp15 ribu per karung.
“Satu karung ini kurang lebih dapat 500 kulit ketupat. Kalau daun kelapanya ada yang mengantar ke sini, dibeli Rp14-15 ribu per karung,” ucapnya.
Untuk memenuhi pesanan kulit ketupat, Murniati mempekerjakan sejumlah kaum ibu di tempat tinggalnya. Setiap 100 kulit ketupat yang diselesaikan dibayar Rp.1.300.
“Pesanan paling banyak dari Lubuk Basung, tapi ada juga dari Bawan, Maninjau dan tempat lainnya, kadang ada juga anak galeh di pasar mengambil ke sini,” ungkap Murniati.
Kerabat Murniati yang kerap membantunya membuat kulit ketupat, Ernentis (46) mengatakan pembuatan kulit ketupat di daerah setempat sudah berlangsung sejak turun-temurun. Seingatnya, ketika dirinya masih remaja, kawasan tersebut sudah terkenal sebagai sentra kulit ketupat.
“Di Batu Gadang ini, usaha membuat kulit ketupat sudah sejak turun-temurun, orang-orang yang butuh kulit ketupat pasti datang ke sini,” ungkapnya.
Ernentis mengaku membuat kulit ketupat merupakan pekerjaan sampingnya untuk membantu perekonomian keluarga. Dalam sehari, dirinya hanya mampu membuat 300-400 ketupat.
Dengan jumlah tersebut, Ernentis dalam sehari mendapat upah sebesar Rp.5 ribu. Kendati terbilang sedikit, dirinya tetap bersyukur bisa menghasilkan ketimbang harus duduk melamun.
“Cukuplah untuk membeli sarapan anak setiap pagi,” katanya.
Hal senada juga diutarakan Yusnimar (55), dirinya mengaku membuat kulit ketupat selepas urusan rumah tangga selesai dikerjakan. Yusnimar tidak menargetkan berapa kulit ketupat yang dianyam.
Biasanya, Yusnimar memulai membuat kulit ketupat ba’da Dzuhur hingga Ashar. Untuk kulit ketupat dibuatnya bervariasi, mulai dari ukuran kecil, sedang hingga besar.
“Kadang jika tidak terlalu lelah, daun ketupat ini di bawa pulang, malam sambil santai-santi kembali menganyam kulit ketupat hingga mengantuk,” tuturnya.
Yerlianis (50) mengaku khawatir predikat sentra penghasil kulit ketupat yang disandang Batu Gadang lambat laun menghilang. Pasalnya, di kawasan itu hanya kaum ibu-ibu yang masih melestarikan usaha turun-temurun itu.
“Anak mudanya tidak ada yang minat, takutnya usaha ini tidak ada yang meneruskan, nasibnya nanti sama seperti predikat sentra kerupuk ubi yang dulunya di sini sempat jaya,” keluhnya.
Kendati begitu, dirinya tetap optimis Batu Gadang akan tetap dikenal sebagai sentra kulit ketupat.
“Kalau tirai dan atap rumbio punyanya orang Kampung Tangah, Batu Bata di Berok, kalau kerupuk ubi dan kulit ketupat di Batu Gadang ini,” ucap Yerlianis. (*)