Berhubung hubungan Indonesia sama China atau Tiongkok lagi mesra-mesranya (di luar insiden natuna ya…), sekarang ada objek wisata di Agam yang tidak kalah sama Great Wall nya Tiongkok itu. Ya kalaupun kalah, cuma kalah panjang sama kalah sejarah aja. Selebihnya “Sajuta Janjang Lereng Singgalang” ini menang. Ya harus menang ! Kapan lagi bangga dengan produksi dan kreasi dalam negeri.
Objek wisata yang satu ini baru saja menyelesaikan tahap pembangunannya. Sebenarnya ada cerita menarik soal pembangunan objek wisata di Agam ini. Berhubung saya sempat menjadi salah satu anak buahnya Bupati Agam saat ini Dr. H. Indra Catri (akrab dipanggil IC), jadi saya sedikit tahu soal kisah dibalik Sajuta Janjang Lereng Singgalang yang lazim disebut Sajuta Janjang ini. Jadi tulisan ini akan punya beberapa sudut pandang nantinya. Sebagai penikmat, dan juga sebagai saksi sejarahnya.
Sajuta Janjang ini hadir setelah Great Wall nya China begitu luar biasa dalam menarik wisatawan. Walaupun dulu tujuan pembangunannya sebagai benteng pertahanan militer. Karena perangnya udah beres, sekarang malah jadi lokasi foto-foto turis dari seluruh dunia.
Nah, Pak IC meyakini bahwa keindahan alam Agam lebih plus dari China. Tapi keindahan alam itu kekurangan akses untuk dinikmati oleh khalayak ramai. Maka diputuskanlah membangun Great Wall Sumatera Barat ini sebagai salah satu akses bagi wisatawan untuk menikmati keindahan alam Agam.
Awalnya saya mengernyitkan dahi ketika beliau bilang Sajuta Janjang akan jadi Great Wall nya Sumatera Barat. Karena saya sudah bisa membayangkan, ini bukan pekerjaan mudah. Dan memang, perjalanan pembangunannya melelahkan. Walau tidak ada pekerja yang sampai tewas seperti Great Wall China itu. Dan Alhamdulillah, proses pembangunannya sudah selesai.
Sebenarnya, objek wisata yang satu ini hanyalah salah satu dari sekian banyak objek wisata yang dibangun di Agam. Tapi karena objek wisata ini lain dari yang lain, jadi tingkat keviralannya menjadi di atas objek wisata yang lain. Tidak tanggung-tanggung, Lereng Sajuta Janjang ini membentang panjang hampir mencapai 4 km. Dan yang lebih spektakuler lagi, rute sepanjang itu full climbing, alias menanjak. Jadi ya mirip-mirip Rally Paris Dakar, hanya orang-orang yang memang punya tekad kuat saja yang akan sampai di puncaknya atau garis finishnya.
Kalau di puncak Gunung Merapi anda dinanti oleh Edelweis, maka di puncak Lereng Sajuta Janjang ini anda akan melihat pemandangan yang biasanya hanya akan anda temukan di kanvas seorang Basoeki Abdullah. Seindah itu ? Bisa jadi lebih indah, karena yang ada di hadapan anda adalah lukisan sang pencipta. Jadi semestinya rute 4 km kurang sedikit itu bukanlah masalah.
Terakhir mengunjungi objek wisata ini, saya melihat banyak wisatawan usia muda. Dengan peralatan terhitung super untuk berwisata. Bagaimana tidak, kamera go pro seri terbaru, stabilizer kamera, kamera tele yang bisa mengambil objek yang jauhnya bukan main. Well prepared lah pokoknya. Ada yang buat konten untuk youtube, ada yang live di Instagram, dan ada yang memang pelaku fotografi. Jadi well done untuk Lereng Sajuta Janjang.
Terakhir, saya rasa sudah saatnya Agam memiliki agenda sport tourism mandiri. Jika Jepang punya Hakone Ekiden yang disiarkan full oleh TV nasionalnya, atau Mount Fuji Marathon yang jadwalnya ditunggu-tunggu oleh pelari dan wisatawan dari setiap belahan dunia. Maka sudah sepantasnya Agam punya event sport tourism sejenis.
Bisa anda bayangkan berlari di dalam kanvas seorang Basoeki Abdullah ? Mulailah di Sajuta Janjang. Tenang saja, anda tidak akan sendiri. Karena memang banyak yang ingin berlari di dalam kanvas seorang maestro. Dan sebagian dari mereka sudah melakukannya. Anda ? Sampai jumpa di sana !!! (TRD)
* Tulisan ini pernah dimuat dalam kompasiana.com, tanggal 25 Januari 2020.